Mengenal Awal Mula Jamu Gendong
Penjual jamu keliling umum kita jumpai di desa-desa sampai perkotaan. Walau sekarang ini banyak mulai penjual jamu yang menawarkan jamu dengan bersepeda atau bahkan juga sepeda motor, tapi sebelumnya penjual jamu keliling jual jamu dengan
Rata-rata penjual jamu keliling berjenis kelamin wanita. Bila ada lelaki penjual jamu keliling, banyaknya tidak sekitar wanita. Perihal ini pula yang selanjutnya membuat penjual jamu sama dengan panggilan mbok jamu gendong.
Baca Juga :
Dari beragam catatan riwayat dijumpai jika budaya mengolah jamu cuman dikenali di kelompok istana. Jamu diolah untuk raja, permaisuri, pangeran, dan beberapa puteri keraton. Jamu jadi minuman untuk mempertahankan kesehatan, kesehatan, dan kecantikan keluarga istana.
Bersamaan perubahan jaman, beberapa orang keraton mulai memperkenalkan jamu pada khalayak luas. Pengenalan jamu ke luar keraton diprediksi terjadi di akhir Kerajaan Majapahit, bersambung pada kerajaan-kerajaan sesudahnya, dan terus jalan sampai periode Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Jamu sebelumnya cuman dibikin oleh mereka yang dipandang berkekuatan religius atau kerap disebutkan dengan istilah ‘orang pintar', seperti dukun, tabib, atau wiku. Dalam praktek penyembuhan, orang pandai ini memakai ramuan jamu dan ‘mantra' atau doa-doa.
Saat Kerajaan Mataram pecah jadi Keraton Yogyakarta dan Surakarta, servis kesehatan tidak dapat dilaksanakan sampai penjuru dusun karena kebatasan transportasi. Pusat kesehatan punya kerajaan yang disebutkan Dinas Kesehatan Kerajaan berkedudukan di Ibu Kota Kerajaan.
Rumah sakit untuk penyembuhan kekinian yang diadakan oleh Pemerintahan Hindia Belanda ada di ibukota.
Warga yang tinggal jauh dari rumah ‘orang pintar' memerlukan mediator untuk mengantarkan ramuan jamu dari ‘orang pintar' ke tempat tinggalnya.
Perihal ini pula yang menggerakkan ada mekanisme distribusi jamu dari orang pandai ke warga yang tempat tinggalnya jauh dari orang pandai. Distribusi jamu ke warga perdesaan pertama kalinya dilaksanakan dengan seorang lelaki atas suruhan dukun berdasar pesanan customer.
Mekanisme yang sudah dilakukan yaitu dengan barter, jamu diganti berbahan makanan atau barang yang lain. Ini dirasakan benar-benar memberikan keuntungan, baik oleh sang dukun atau warga pengguna hingga aktivitas itu jadi rutinitas dan pada akhirannya pengangkutan jamu dilaksanakan dengan teratur.
Pada perubahan selanjutnya pemasaran jamu ke desa-desa dilaksanakan secara berkeliling-keliling. Penjual jamu lelaki bawa jamu dengan menanggungnya dan golongan wanita lakukan dengan menggendongnya.
Karena tenaga lelaki lebih sering dibutuhkan untuk usaha pertanian, pemasaran jamu semakin banyak dilaksanakan oleh wanita.
Lama-lama, penjual jamu mulai jual jamu bikinannya sendiri. Resep yang didapat dari orang pandai selanjutnya disebarkan dari mulut ke dalam mulut hingga makin bertambah orang yang ketahuinya.
Peralihan warga dari dusun ke kota ikut memengaruhi perubahan jamu gendong.
Banyak warga dusun yang mengadu nasib ke kota dengan jadi pekerja atau berdagang, demikian juga dengan penjual jamu. Tipe jamu yang dipasarkan pada akhirannya sesuaikan dengan keperluan customer, yaitu jamu-jamu yang mempunyai manfaat lebih umum, seperti cabai puyang, beras kencur, daun pepaya dan lain-lain. Demikian artikel tentang jamu gendong. Semoga bermanfaat.
Kunjungi :
Eko Budhi Purwanto adalah pelopor dan penggerak seni lukis auratik menggunakan tinta blok digital. Selain sebagai karya seni, lukisan auratik juga bertujuan untuk membantu program pemulihan psikologis, bagi keluarga, dewasa, dan anak-anak.